RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Tolonglah saudaramu yang zhalim dan yang dizhalimi”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kami paham bahwa yang dizhalimi mesti ditolong, namun bagaimana menolong orang yang zhalim?”. Beliau bersabda: “Tariklah tangannya (dari berbuat kezhaliman)” (HR. Bukhari, 2444)
Wajib bagi seseorang untuk memenuhi permintaan suadaranya yang meminta nasehat.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Hak seorang muslim yang wajib dipenuhi oleh muslim yang lain ada enam”. Para sahabat bertanya: “Apa saja hal itu, wahai Rasulullah?”. Beliau bersabda: “Jika bertemu, beri salam padanya. Jika ia mengundangmu, penuhi undangannya. Jika ia meminta nasehatmu, nasehatilah ia. Jika ia bersin dan mengucap hamdalah, ucapkanlah tasymit. Jika ia sakit, jenguklah. Jika ia meninggal, antarlah jenazahnya” (HR. Muslim, 2162)
Islam tidak mengajarkan egois atau mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan saudaranya. Jika seorang menginginkan kebaikan pada dirinya, hendaknya ia juga menginginkan kebaikan yang sama diraih oleh saudaranya. Jika seseorang ingin menjadi hamba yang menegakkan shalat, ia pun hendaknya menginginkan saudaranya juga untuk bisa menegakkan shalat.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Seseorang tidak dikatakan beriman hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya” (HR. Bukhari 13, Muslim 45)
Seorang Muslim Itu Menerima Nasehat
Agar tidak tergolong manusia yang merugi, seseorang hendaknya gemar menasehati dan menerima nasehat.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al Ashr: 2-3)
Nasehat itu hanya bermanfaat bagi orang-orang yang memiliki iman. Adapun orang tak ada iman dalam hatinya, nasehat tidak ada manfaatnya bagi mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
“Berilah peringatan! Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat: 55)
Nasehat itu hanya bermanfaat bagi orang-orang yang takut kepada Allah. Adapun orang yang sombong kepada Allah, semisal orang-orang yang kafir kepada Allah, nasehat tidak ada manfaatnya bagi mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
“Berilah peringatan jika memang peringatan itu bermanfaat. Sehingga dengan peringatan itu, orang-orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran, dan orang-orang yang celaka akan menjauh” (QS. Al-A’laa: 9-11)
Enggan menerima nasehat dan ‘ngeyel’ untuk berjalan di atas kesalahan adalah tabiat kaum musyrikin.
Allah Ta’ala berfirman:
‘Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?‘ (QS. Al Baqarah: 170)
Penolak Nasehat
Terkadang orang yang sombong dan enggan menerima nasehat pun menangkis nasehat-nasehat yang disampaikan kepada dirinya dengan ayat Al Qur’an, diantaranya:
“Bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu”
(QS. Al Baqarah: 139, Al Qashash: 55, Asy Syuraa: 15)
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. Al Kafirun: 6)
Padahal para ulama menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut ditujukan kepada orang kafir.
Dalam tafsir Jalalain ditafsirkan:
“Untukmu agamamu, yaitu kesyirikan. Dan untukku agamaku, yaitu Islam” (Tafsir Jalalain)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata kepada mereka (orang kafir) :
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” semisal dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya): ”Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: ‘Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan‘” (QS. Yunus: 41).
Juga firman Allah Ta’ala (yang artinya):
”Bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu”
(QS. Al Baqarah: 139, Al Qashash: 55, Asy Syuraa: 15).
Imam Al Bukhari menjelaskan, makna ‘untukmu agamamu’ yaitu kekufuran, ‘untukku agamaku’ yaitu Islam.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Sehingga jelas ayat-ayat tidak pantas dan tidak layak ditujukan kepada sesama muslim. Bahkan, andai ayat-ayat ini digunakan terhadap sesama muslim, akan bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits lain yang memerintahkan kaum muslimin untuk saling menasehati, berdakwah dan beramar-ma’ruf nahi-mungkar. Bukan saling cuek, egois dan tidak mau tahu keadaan saudaranya serta membiarkan saudaranya terpuruk dalam kesalahan dan dosa.
Akhir kata, semoga Allah menolong kita agar menjadi orang yang berlapang dada dalam menerima nasehat. Teringat perkataan Umar bin Khattab radhiallahu’anhu yang biasa beliau ucapkan ketika ia dinasehati:
“Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan padaku kesalahan-kesalahanku“
“Tolonglah saudaramu yang zhalim dan yang dizhalimi”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kami paham bahwa yang dizhalimi mesti ditolong, namun bagaimana menolong orang yang zhalim?”. Beliau bersabda: “Tariklah tangannya (dari berbuat kezhaliman)” (HR. Bukhari, 2444)
Wajib bagi seseorang untuk memenuhi permintaan suadaranya yang meminta nasehat.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Hak seorang muslim yang wajib dipenuhi oleh muslim yang lain ada enam”. Para sahabat bertanya: “Apa saja hal itu, wahai Rasulullah?”. Beliau bersabda: “Jika bertemu, beri salam padanya. Jika ia mengundangmu, penuhi undangannya. Jika ia meminta nasehatmu, nasehatilah ia. Jika ia bersin dan mengucap hamdalah, ucapkanlah tasymit. Jika ia sakit, jenguklah. Jika ia meninggal, antarlah jenazahnya” (HR. Muslim, 2162)
Islam tidak mengajarkan egois atau mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan saudaranya. Jika seorang menginginkan kebaikan pada dirinya, hendaknya ia juga menginginkan kebaikan yang sama diraih oleh saudaranya. Jika seseorang ingin menjadi hamba yang menegakkan shalat, ia pun hendaknya menginginkan saudaranya juga untuk bisa menegakkan shalat.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Seseorang tidak dikatakan beriman hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya” (HR. Bukhari 13, Muslim 45)
Seorang Muslim Itu Menerima Nasehat
Agar tidak tergolong manusia yang merugi, seseorang hendaknya gemar menasehati dan menerima nasehat.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al Ashr: 2-3)
Nasehat itu hanya bermanfaat bagi orang-orang yang memiliki iman. Adapun orang tak ada iman dalam hatinya, nasehat tidak ada manfaatnya bagi mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
“Berilah peringatan! Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat: 55)
Nasehat itu hanya bermanfaat bagi orang-orang yang takut kepada Allah. Adapun orang yang sombong kepada Allah, semisal orang-orang yang kafir kepada Allah, nasehat tidak ada manfaatnya bagi mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
“Berilah peringatan jika memang peringatan itu bermanfaat. Sehingga dengan peringatan itu, orang-orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran, dan orang-orang yang celaka akan menjauh” (QS. Al-A’laa: 9-11)
Enggan menerima nasehat dan ‘ngeyel’ untuk berjalan di atas kesalahan adalah tabiat kaum musyrikin.
Allah Ta’ala berfirman:
‘Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?‘ (QS. Al Baqarah: 170)
Penolak Nasehat
Terkadang orang yang sombong dan enggan menerima nasehat pun menangkis nasehat-nasehat yang disampaikan kepada dirinya dengan ayat Al Qur’an, diantaranya:
“Bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu”
(QS. Al Baqarah: 139, Al Qashash: 55, Asy Syuraa: 15)
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. Al Kafirun: 6)
Padahal para ulama menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut ditujukan kepada orang kafir.
Dalam tafsir Jalalain ditafsirkan:
“Untukmu agamamu, yaitu kesyirikan. Dan untukku agamaku, yaitu Islam” (Tafsir Jalalain)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata kepada mereka (orang kafir) :
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” semisal dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya): ”Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: ‘Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan‘” (QS. Yunus: 41).
Juga firman Allah Ta’ala (yang artinya):
”Bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu”
(QS. Al Baqarah: 139, Al Qashash: 55, Asy Syuraa: 15).
Imam Al Bukhari menjelaskan, makna ‘untukmu agamamu’ yaitu kekufuran, ‘untukku agamaku’ yaitu Islam.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Sehingga jelas ayat-ayat tidak pantas dan tidak layak ditujukan kepada sesama muslim. Bahkan, andai ayat-ayat ini digunakan terhadap sesama muslim, akan bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits lain yang memerintahkan kaum muslimin untuk saling menasehati, berdakwah dan beramar-ma’ruf nahi-mungkar. Bukan saling cuek, egois dan tidak mau tahu keadaan saudaranya serta membiarkan saudaranya terpuruk dalam kesalahan dan dosa.
Akhir kata, semoga Allah menolong kita agar menjadi orang yang berlapang dada dalam menerima nasehat. Teringat perkataan Umar bin Khattab radhiallahu’anhu yang biasa beliau ucapkan ketika ia dinasehati:
“Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan padaku kesalahan-kesalahanku“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar